Blogroll

Sabtu, 07 Januari 2017

Makalah Ulumul Qur'an



BAB II
PEMBAHASAN

A.  ‘Amm dan Bentuk Umum.
1.      Pengertian Amn.
Amm (          ) adalah lafazh yang mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan[1] atau yang meliputi semua apa yang baik baginya tanpa batas.[2]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘amn, apakah di dalam bentuk bahasa dia mempunyai bentuk lafazh (shigat) yang khusus untuk menunjukkannya atau tidak?
Sebagian ulama besar berpendapat, di dalam bahasa terdapat bentuk-bentuk tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil tekstual (nashshiyah), ijima’, dan kontekstual (maknawiyah).
a.       Di antara dalil-dalilnya ialah firman Allah:




“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya; ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang paling adil. ‘ Allah befirman ; ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang di janjikan untuk diselamatkan’.” (Hud : 45-46).
Aspek yang di jadikan dalil dari ayatini ialah bahwa Nuh emenghadap kepada Allah dengan permohonan tersebut karena ia berpegang kepada firman-Nya.


“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan keluargamu.” (Al-Ankabut:33)
Dalam ayat in, Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu Allah menjawab dengan suatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idhafah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menyatakan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak benar.
a.       Di antara dalil-dalil ijima’iyah, yakni yang menjadi ijima’ sahabat bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.



“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali deraan.” (An-Nur:2)
Dan juga ayat,



“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (Al-Ma’idah:38)
Ayat tersebut bermakna umum, berlaku dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.
a.       Di antara dalil-dalil ma’nawiyah ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan lafazh-lafazh syarat, istifham (pertanyaan) dan maushul (kata-sambung). Tanpa lafazh-lafazh ini apa yang dimaksud tidak akan terlintas didalam benak untuk memahaminya.
Kita dapat menangkap adanya perbedaan antara kata Kull (seluruh) dengan Ba’dh (sebagian). Seandainya kata Kull tidak menunjukkan arti umum, tentulah perbedaan tidak terwujud.
Andaikata seseorang berkata dengan pola kalimat nakirah manfi, “la rajulun fi ad-dar” (tak ada seorang pun di dalam rumah), maka ia dipandang dusta jika diperkirakan ia melihat seseorang. Hal ini sebagaimana tampak dalam firman Allah, “Katakanlah; Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa Musa?” (Al-An’am:91). Ayat ini untuk mendustakan mereka yang berkata, “Ma anzalallahu ‘ala basyarin min syai’in” (Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia) (Al-An’am:[91). Ini semua menunjukkan bahwa nakirah setelah nafi’ adalah untuk makna umum. Karena itulah dalam kalimat tauhid, kita mengatakan “la ilah illallah”(Tiada Tuhan selain Allah), karena tidak menunjukkan peniadaan semua ilah selain Allah.
Atas dasar ini maka makna umum itu mempunyai bentuk-bentuk (shigat)tertentu menunjukkannya, Di antaranya :
a)      Kull, seperti ayat “kullu nafsin dza’iqatul maut” (setiap yang memiliki jiwa pasti akan merasakan mati) dalam Ali Imran: 185, dan firman Allah dalam “Allahu khaliqu kulli syai” (Allah adalah pencipta segala sesuatu) (Al-An’am: 102). Yang semakna dengan “kull” adalah kata jami’.
b)      Lafazh-lafazh yang dimakrifatkan dengan “al” yang bukan al-‘ahdiyah. Misalnya, dalam ayat ‘Wal ‘ashri innal insana lafi khusr’  (Al-Ashr: 1-2). Maksudnya, setiap manusia, berdasarkan ayat selanjutnya (Al-Ashr: 3). Juga seperti ayat “Illalladzina amanu” (Al-Baqarah: 275) dan “Wa ahallallahu al-bai’” (Al-Maa’idah:275).
c)      Isim nakirah dalam konteks nafi dan nahi, seperti dalam, “fala rafatsa wala fusuqa wala jidala fil al-haj” (Al-Baqarah 2 : 197), “Fala taqul lahuma uffin.” (Al-Israa’: 23). Atau dalam konteks syarat, seperti, “Wa in ahadun minal-Musyrikina….” (At-Taubah:6).
d)     Alladzi dan allati serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam ayat ” (Al-Ahqaf: 170). Maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan firman sesudahnya dalam bentuk jamak, yaitu dalam “Ulaaikal ladzina haqqa ‘alaihim al-qaul” (Al-Ahqaf: 18), atau “Walladziani ya’tiyaniha minkum fa adzuhuma” (An-Nisaa’: 16), dan ayat “Walla’i ya’isna minal mahidhi min….. hamlahunn” (Ath-Thalaq: 4)
e)      Semua isim syarat. Misalnya dalam ayat “Faman hajjal baita awi’tamara fala junaha ‘alaihi an yaththawwafa bihima” (Ath-Thalaq: 4). Ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal. Demikian juga ayat dalam“Wama taf’alu min khairin ya’lamhullah” (Al-Baqarah: 197). Ini untuk menunjukkan umum bagi yang tidak berakal. Juga firmanNya yang termaktub dalam “Wa haitsuma kuntum fawallu wujuhakum syathrah” (Al-Baqarah: 150). Ini untuk menunjukkan umum bagi tempat. Juga ayat “Ayyam ma tad’u falahul asma’ul husna”(Al-Israa’: 10).
f)       Ismu al-Jins (kata jenis) yang disandarkan kepada isim makrifah. Misalnya dalam “Falyahdzaril-ladzina yukhalifuna ‘an amrih” (An-Nur: 63). Maksudnya, segala perintah Allah. Dan juga dalam “Yushikumullahu fi auladikum” (An-Nisaa’: 11)
2.      Macam-macam ‘Amm.
‘amm terbagi atas tiga macam, yaitu :
a.       ‘Amm tetap dalam keumumannya (al-‘amn al-baqi ‘ala ‘umumih). Qadi Jalaludin al-Balqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafazh ‘amn kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan) tetapi Zarkasyi dalam Al-Burhon mengemukakan, ‘amn  demikian banyak terdapat dalam Qur’an. Ia mengajukan beberapa contoh, antara lain :“Wallahu bikulli syay’in ‘alim” (An-Nisaa’ :176), “Wala yazhlimu Rabbuka ahada” (Al-Kahfi: 49). Dalam ayat-ayat ini tidak mengandung kekhususan.
b.      ‘Amm yang dimaksud khusus (al-amn al-muradbihi al-khusus). Misalnya firman Allah dalam“Alladzina qala lahumun-nasu innan-nasa qadjama’u lakum fakhsyauhum” (Ali-Imran: 173). Yang dimaksuddengan “an-nas” yang pertama adalah Nuaim bin Mas’ud, dan“an-nas” yang kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafazh tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum. Kesimpulan ini di tunjukkan lanjutan ayat sesudahnya (innamadzallikumasy-syaithan), sebab isyarah dengan (dzalikum) hanya menunjuk kepada satu orang tertentu. Seandainya yang dimaksud adalah banyak orang, jamak. Tentulah akan dikatakan (innamaulaikumasy-syaithan).
c.       ‘Amm yang di khususkan (al-‘amn al-makhshush). ‘amm seperti ini banyak di temukan di Al-Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti. Diantaranya adalah ayat“wakulu wasyarabu hattayata bayyanal akumul khaithul abyadhu minal khaithil aswaddi minalfajr” (Al-Baqarah: 187), dan“walillahi ‘alan-nasihijjul baiti manistatha’ailaihi sabila” (Ali Imran: 97).[3]
3.      Perbedaan ‘Amn Khususi dan ‘Amn yang Dikhususkan.
Perbedaan antara ‘Amm yang dimaksud dengan ‘amn khusus dan ‘amm yang dikhususkan itu ada beberapa macam, yang terpenting di antaranya ialah.
Pertama, ‘amm yang di maksud dengannya khusus tidak ada maksudnya meliputi seluruh ifrad dari permulaan perintah itu. Bukan lafazh dari pihak dan bukan pula dari pihak hukum. Tapi dia mempunyai ifrad-ifrad yang dipakai pada satu ifrad atau lebih. Adapun ‘amm yang dikhususkan maksud umumn yaitu meliputi seluruh ifrad dari pihak lafazh, bukan dari pihak hukum. Lafaz pada firman Allah yang berbunyi.


Orang-orang yang mengatakan kepada nya itu.
Jika kalimat ini berbentuk ‘amm, makamaksud lafazh dan hukum  disini tidak lain selain dari satu ifrad. Adapun lafazh “orang” dalam firman Allah yang berbunyi.
Kewajiban orang mengerjakan Haji karena Allah di baitullah (Q.S 3 : 97).
Yaituberbentuk ‘amn, maksudnya ialah lafazh dari ifrad-ifrad. Sebenarnyahukum wajib untuk melaksanakan haji itu tida kada, kecuali bagi orang-orang yang sanggup, makaini berbentuk khusus.
Kedua, yang pertama adam ajaz qathi’, untuk memindahkan lafazh dari judul asli, dipakai beberapa ifrad. Berbeda dengan yang kedua. Dalam ini dia adalah sah karena dia itu adalah hakiki. Ini dianut oleh kebanyakan Ulama Syafi’iy. Juga banyak dari golongan Hanafiy dan seluruh Ulama Hambali. Dikutip dari imam Harmani dari seluruh Fuqaha. Kata Abdul Hamid Al Ghazali dia bermazhab Shafi’iy begitu juga teman-temannya yang lain dandisahkanoleh Subki. Disini sebagian dari lafazh-lafazh itu ada yang masih tertinggal setelah ditakhsiskan ataupun bukan. Untuk mendapatkan yang hakiki itu harus ada kepastian (kesepakatan). Demikian juga untuk mendapatkan yang hakiki.
Ketiga, karinah (Qarinah) itu biasanya berdasarkan akal, dan memang selalu demikian. Sedangkan karinah kedua lafadziyah (menurut lafazh). [4]


B. Khass dan Mukhassis
1. Pengertian Khass dan Mukhassis
Khass adalah lawan kata amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan atau yang tidak meliputi semua tanpa batas.[5] Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafaz amm. Dan mukhassis (yang mengkhususkan) adakalanya muttasil, yaitu yang antara amm dengan mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfassil, yaitu kebalikan dari muttasil.
Mukhassis muttasil ada lima macam:
a.       Istisna (terkecuali), seperti firman Tuhan yang berbunyi.






“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka itu (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan jangan lah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat.” (Q.S An- nur 4-5)
b.      Sifat misalnya dalam surah An-nisa ayat 23 yang berbunyi.




“Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri.” (Q.S An-nisa 23)
Kalimat yang berbunyi                                                      adalah sifat bagi istri-istri kamu. Berarti disini bahwa anak tiri itu haram dikawini bila ibunya itu sudah dicampuri. Tapi kalau belum dicampuri maka disini anak itu halal dinikahi.
c.       Syarat misalnya seperti firman Tuhan yang berbunyi.





“diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. Inilah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Jika peninggalan harta perkataan itu berarti harta benda.
Syarat dalam wasiat, dan perkataan yang berbunyi.




“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu ketahui ada baiknya pada mereka itu.” (Q.S An-nur 33)
Artinya disini ialah sanggup membayarkannya atau amanah dan usaha.
d.      Ghayah misalnya seperti firman Tuhan yang berbunyi.



“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai ditempat penyembelihannya.” (Q.S Al-Baqarah 196)
e.       Badal ba’du min kulli. Seperti firman Tuhan yang berbunyi.



“Mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(Q.S Al-Imran 97)
Perkataan (                                    ) itu adalah badal dari manusia. Wajib haji itu adalah khusus bagi orang-orang yang sanggup.
Mukhassis munfasil adalah mukhassis yang terdapat ditempat lain, baik ayat, hadis, ijma’, ataupun qiyas.
a.       Yang ditakhsis oleh Al-Qur’an

Ayat ini adalah amm, mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumumuman ini ditakhsis oleh ayat:

Dan  firmannya:


b.      Yang ditakhsis oleh Hadis

Ayat ini ditakhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain disebutkan dalam kitab sahih Bukhari dari Ibn Umar ia berkata: “Rasulullah melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.”
Dalam Sahihain diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah melarang jual beli kandungan binatang yang mengandung, jual beli yang biasa dilakukan orang jahiliyah. Biasanya seseorang membeli seekor unta sampai unta melahirkan, kemudian anaknya itu beranak pula. (Redaksi hadis ini adalah redaksi bukhari). Dan hadis-hadis lainnya.
Dan dari jenis riba (yang secara umum diharamkan dalam ayat di atas) didispensasikanlah jual beli ‘ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih dipohon dengan kurma kering. Jual beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.




“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah memberi keringanan untuk jual ‘ariyah dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq.” (Muttafaq ‘alaih).
c.       Yang ditakhsis oleh ‘ijma



Berdasarkan ijma’ budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris.
d.      Yang ditakhsis oleh qiyas



Budak laki-laki ditakhsis (dikeluarkan dari ketentuan umum ayat ini) karena diqiyaskan kepada budak permepuan yang pentakhsisannya ditegaskan dalam ayat:




2. Mentakhsiskan sunah dengan Al-qur’an.
Terkadang ayat Al-Qur’an mentakhsis, membatasi, keumuman sunnah. Para ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat Abu Waqid al-Laisi. Ia menjelaskan, Nabi berkata:


“Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai.”


Hadis ini ditakhsis oleh ayat:



“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” Q.S An-nahl 80[6]
3.  Sah Berhujjah dengan Amm’ Setelah Takhsis nya itu Tetap
               Berbeda-beda pendapat ulama tentang sahnya mengemukakan hujjah dengan ‘amm, setelah takhsisnya itu tetap. Para peneliti menetapkan bahwa sah mengemukakan hujjah dengannya tentang apa yang berada dibalik takhsis. Pendapat mereka itu berdasarkan baik yang berkaitan dengan ijma’ maupun secara ratio (akal).
                        Pertama , dari keterangan ijma’, Fatimah pernah mengemukakan hujjah kepada Abu Bakar menegenai warisan dari ayahnya berdasarkan keumuman ayat:



“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian warisan untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (Q.S An-nisa 11)
Di samping itu ada yang ditakhsiskan yaitu orang kafir dan orang yang membunuh. Tidak seorang juga sahabat yang mengingkari hujjah yang dikemukakan oleh Fatimah tersebut. Disamping itu juga menurut kenyataan dan yang terkenal dikalangan sahabat-sahabat Nabi SAW selama ini. Menurut ijma’, hujjah Fatimah itu adalah sah dalam hal ini Abu Bakar menyimpangkan alasan yang dikemukakan oleh Fatimah itu kepada hujjah lain, berdasarkan sabda nabi yang berbunyi, kami seluruh Nabi-nabi tidak meninggalkan warisan yang kami tinggalkan hanyalah sedekah.
 Kedua, berdasarkan akal. Amm’ itu sebelum ditakhsiskan boleh dijadikan hujjah bagi setiap orang, berdasarkan ijma’. Asalnya adalah tetap, baik sebelum maupun sesudah ditakhsiskan. Kecuali bila terdapat hal-hal yang bertentangan disini tidak ada yang bertentang-tentangan apa yang berada dibalik takhsis itu Amm’ sesudah ditakhsiskan itu tetap merupakan hujjah.
4. Yang Tercakup Dalam Dalil yang Khusus
                   Para ulama berbeda pendapat tentang khithab (seruan) yang ditujukan secara khusus kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seperti:



“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti keinginan orang-orang kafir dan orang-orang munafik”. (Q.S Al-ahzab 1)



“Hai Rasulullah, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegara (memperlihatkan) kekafirannya.” (Q.S Al-Maidah 41)
Apakah Khithab ini mencakup seluruh umat atau tidak?
a.       Segolongan ulama berpendapat, ini mencakup seluruh umat karena Rasulullah adalah qudwah (panutan) bagi mereka.
b.      Golongan lain berpendapat, bahwa ini tidak mencakup mereka, karena lafaz-nya menunjukkan kekhususannya bagi Rasulullah saja.
Di samping itu, mereka juga berbeda pendapat mengenai Khithab Allah yang menggunakan lafaz “Ya ayyuhan nass,” seperti:


“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa.” (Q.S An-nisa 1);
Apakah ia mencakup Rasulullah atau tidak? Menurut pendapat yang shahih, khithab tersebut mencakup Rasulullah juga, sebab mengandung makna yang umum, meskipun khithab tersebut datang melalui lisannya untuk disampaikan kepada orang lain (umat).
Sementara itu ulama yang lain merincikan, katanya; jika disertai kata “qul” (Katakanlah) maka ia tidak mencakup Rasul, karena secara Zhahir Khithab tersebut untuk disampaikan (kepada umatnya). Misalnya:



“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua.” (Q.S Al-a’raf 158).
Dan jika tidak disertai dengan “qul”, maka ia juga mencakup Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.




[1] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm 272
[2] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1995), hlm 11
[3] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm 276

[4] Manna’ khalil al-Qathan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, PT. Pustaka Litera Antarnusa,2009) , hlm 318

[5] Mana’ul Quthan ,  Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1995), hlm 20
[6] Manna’ khalil al-Qathan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, PT. Pustaka Litera Antarnusa,2009) , hlm 321

0 komentar:

Posting Komentar