BAB II
PEMBAHASAN
A.
‘Amm dan Bentuk Umum.
1.
Pengertian Amn.
Amm ( ) adalah lafazh yang mencakup segala
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan[1] atau yang meliputi semua
apa yang baik baginya tanpa batas.[2]
Para ulama berbeda
pendapat tentang makna ‘amn, apakah di dalam bentuk bahasa dia mempunyai bentuk
lafazh (shigat) yang khusus untuk menunjukkannya atau tidak?
Sebagian ulama besar berpendapat,
di dalam bahasa terdapat bentuk-bentuk tertentu yang secara hakiki dibuat untuk
menunjukkan makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk
mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil
tekstual (nashshiyah), ijima’, dan kontekstual (maknawiyah).
a. Di antara dalil-dalilnya ialah firman
Allah:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya;
‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya
janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang paling adil. ‘ Allah
befirman ; ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang di janjikan
untuk diselamatkan’.” (Hud : 45-46).
Aspek yang di jadikan
dalil dari ayatini ialah bahwa Nuh emenghadap kepada Allah dengan permohonan
tersebut karena ia berpegang kepada firman-Nya.
“Sesungguhnya Kami akan
menyelamatkanmu dan keluargamu.” (Al-Ankabut:33)
Dalam ayat in, Allah
membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu Allah menjawab dengan suatu
perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga.
Seandainya idhafah (penyandaran) kata
“keluarga” kepada “Nuh” tidak menyatakan makna umum, maka jawaban Allah
tersebut tidak benar.
a. Di antara dalil-dalil ijima’iyah, yakni
yang menjadi ijima’ sahabat bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali
deraan.” (An-Nur:2)
Dan juga ayat,
“Dan laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (Al-Ma’idah:38)
Ayat tersebut
bermakna umum, berlaku dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan
mencuri.
a. Di antara dalil-dalil ma’nawiyah ialah
bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan lafazh-lafazh syarat,
istifham (pertanyaan) dan maushul (kata-sambung). Tanpa lafazh-lafazh ini apa
yang dimaksud tidak akan terlintas didalam benak untuk memahaminya.
Kita dapat menangkap adanya perbedaan antara
kata Kull (seluruh) dengan Ba’dh (sebagian). Seandainya kata Kull tidak menunjukkan arti umum,
tentulah perbedaan tidak terwujud.
Andaikata seseorang berkata
dengan pola kalimat nakirah manfi, “la rajulun fi ad-dar” (tak ada seorang pun di dalam rumah),
maka ia dipandang dusta jika diperkirakan ia melihat seseorang. Hal ini
sebagaimana tampak dalam firman Allah, “Katakanlah; Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa
Musa?” (Al-An’am:91).
Ayat ini untuk mendustakan mereka yang berkata, “Ma anzalallahu ‘ala basyarin
min syai’in” (Allah
tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia) (Al-An’am:[91). Ini semua menunjukkan
bahwa nakirah setelah nafi’ adalah untuk makna umum. Karena itulah dalam
kalimat tauhid, kita mengatakan “la ilah illallah”(Tiada Tuhan selain Allah), karena
tidak menunjukkan peniadaan semua ilah selain Allah.
Atas
dasar ini maka makna umum itu mempunyai bentuk-bentuk (shigat)tertentu menunjukkannya, Di antaranya :
a) Kull,
seperti ayat “kullu nafsin dza’iqatul
maut” (setiap yang memiliki jiwa pasti akan merasakan mati) dalam Ali
Imran: 185, dan firman Allah dalam “Allahu
khaliqu kulli syai” (Allah adalah pencipta segala sesuatu) (Al-An’am: 102).
Yang semakna dengan “kull” adalah
kata jami’.
b)
Lafazh-lafazh
yang dimakrifatkan dengan “al” yang
bukan al-‘ahdiyah. Misalnya, dalam
ayat ‘Wal ‘ashri innal insana lafi khusr’ (Al-Ashr: 1-2). Maksudnya, setiap manusia,
berdasarkan ayat selanjutnya (Al-Ashr: 3). Juga seperti ayat “Illalladzina amanu” (Al-Baqarah:
275) dan “Wa ahallallahu al-bai’” (Al-Maa’idah:275).
c)
Isim nakirah dalam konteks
nafi dan nahi, seperti dalam, “fala rafatsa wala fusuqa wala jidala fil al-haj” (Al-Baqarah 2 : 197), “Fala taqul lahuma uffin.” (Al-Israa’: 23). Atau dalam
konteks syarat, seperti, “Wa in ahadun minal-Musyrikina….” (At-Taubah:6).
d)
Alladzi dan allati serta
cabang-cabangnya. Misalnya dalam ayat ” (Al-Ahqaf: 170). Maksudnya, setiap
orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan firman sesudahnya dalam bentuk
jamak, yaitu dalam “Ulaaikal ladzina haqqa ‘alaihim al-qaul” (Al-Ahqaf: 18), atau “Walladziani ya’tiyaniha minkum
fa adzuhuma” (An-Nisaa’:
16), dan ayat “Walla’i ya’isna minal mahidhi min….. hamlahunn” (Ath-Thalaq: 4)
e)
Semua isim syarat. Misalnya dalam ayat “Faman hajjal baita awi’tamara
fala junaha ‘alaihi an yaththawwafa bihima” (Ath-Thalaq: 4). Ini untuk menunjukkan
umum bagi semua yang berakal. Demikian juga ayat dalam“Wama taf’alu min khairin ya’lamhullah” (Al-Baqarah: 197). Ini untuk
menunjukkan umum bagi yang tidak berakal. Juga firmanNya yang termaktub dalam “Wa haitsuma kuntum fawallu
wujuhakum syathrah” (Al-Baqarah:
150). Ini untuk menunjukkan umum bagi tempat. Juga ayat “Ayyam ma tad’u falahul asma’ul
husna”(Al-Israa’: 10).
f)
Ismu al-Jins (kata jenis) yang disandarkan kepada isim makrifah.
Misalnya dalam “Falyahdzaril-ladzina yukhalifuna ‘an amrih” (An-Nur: 63). Maksudnya, segala
perintah Allah. Dan juga dalam “Yushikumullahu fi auladikum” (An-Nisaa’:
11)
2.
Macam-macam ‘Amm.
‘amm terbagi atas tiga macam, yaitu :
a. ‘Amm tetap dalam keumumannya (al-‘amn
al-baqi ‘ala ‘umumih). Qadi Jalaludin al-Balqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafazh ‘amn kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan) tetapi Zarkasyi dalam Al-Burhon mengemukakan, ‘amn demikian banyak terdapat dalam Qur’an. Ia mengajukan beberapa contoh, antara lain :“Wallahu bikulli syay’in ‘alim” (An-Nisaa’ :176), “Wala yazhlimu Rabbuka ahada” (Al-Kahfi: 49). Dalam ayat-ayat ini tidak mengandung kekhususan.
b. ‘Amm yang dimaksud khusus (al-amn al-muradbihi
al-khusus). Misalnya firman Allah dalam“Alladzina qala lahumun-nasu innan-nasa qadjama’u lakum fakhsyauhum” (Ali-Imran: 173).
Yang dimaksuddengan “an-nas” yang
pertama adalah Nuaim bin Mas’ud, dan“an-nas” yang kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafazh tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum. Kesimpulan ini di tunjukkan lanjutan ayat sesudahnya (innamadzallikumasy-syaithan), sebab isyarah dengan (dzalikum) hanya menunjuk kepada satu orang tertentu. Seandainya yang dimaksud adalah banyak
orang, jamak. Tentulah akan dikatakan (innamaulaikumasy-syaithan).
c. ‘Amm yang di
khususkan (al-‘amn
al-makhshush). ‘amm seperti ini banyak di temukan di
Al-Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti. Diantaranya
adalah ayat“wakulu wasyarabu hattayata bayyanal akumul khaithul abyadhu minal khaithil aswaddi minalfajr” (Al-Baqarah: 187),
dan“walillahi ‘alan-nasihijjul baiti manistatha’ailaihi sabila” (Ali Imran: 97).[3]
3.
Perbedaan ‘Amn Khususi dan ‘Amn yang Dikhususkan.
Perbedaan antara ‘Amm yang dimaksud dengan ‘amn khusus dan ‘amm yang dikhususkan itu ada beberapa macam, yang terpenting di antaranya ialah.
Pertama, ‘amm yang di maksud dengannya khusus tidak ada maksudnya meliputi seluruh ifrad dari permulaan perintah itu. Bukan lafazh dari pihak dan bukan pula dari pihak hukum. Tapi dia mempunyai ifrad-ifrad yang dipakai pada satu ifrad atau lebih. Adapun ‘amm yang dikhususkan maksud umumn yaitu meliputi seluruh ifrad dari pihak lafazh, bukan dari pihak hukum. Lafaz pada firman Allah yang berbunyi.
Orang-orang yang mengatakan kepada nya itu.
Jika kalimat ini berbentuk ‘amm, makamaksud lafazh dan hukum disini tidak lain selain dari satu ifrad. Adapun lafazh “orang” dalam firman Allah yang berbunyi.
Kewajiban orang
mengerjakan Haji karena Allah di baitullah (Q.S 3 : 97).
Yaituberbentuk ‘amn, maksudnya ialah lafazh dari ifrad-ifrad. Sebenarnyahukum wajib untuk melaksanakan haji itu tida kada, kecuali bagi orang-orang yang sanggup, makaini berbentuk khusus.
Kedua,
yang pertama adam ajaz qathi’, untuk memindahkan lafazh dari judul asli,
dipakai beberapa ifrad. Berbeda dengan yang kedua. Dalam ini dia adalah sah karena dia itu adalah hakiki. Ini dianut oleh kebanyakan Ulama Syafi’iy. Juga banyak dari golongan Hanafiy dan seluruh Ulama Hambali. Dikutip dari imam Harmani dari seluruh Fuqaha. Kata Abdul Hamid Al Ghazali dia bermazhab Shafi’iy begitu juga teman-temannya yang lain dandisahkanoleh Subki. Disini sebagian dari lafazh-lafazh itu ada yang masih tertinggal setelah ditakhsiskan ataupun bukan. Untuk mendapatkan yang hakiki itu harus ada kepastian (kesepakatan). Demikian juga untuk mendapatkan yang hakiki.
Ketiga, karinah (Qarinah) itu biasanya berdasarkan akal, dan memang selalu demikian. Sedangkan karinah kedua lafadziyah (menurut lafazh). [4]
B.
Khass dan Mukhassis
1.
Pengertian Khass dan Mukhassis
Khass adalah lawan kata
amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa
pembatasan atau yang tidak meliputi semua tanpa batas.[5] Takhsis adalah
mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafaz amm. Dan mukhassis (yang
mengkhususkan) adakalanya muttasil, yaitu yang antara amm dengan mukhassis
tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfassil, yaitu kebalikan dari
muttasil.
Mukhassis
muttasil ada lima macam:
a. Istisna
(terkecuali), seperti firman Tuhan yang berbunyi.
“Dan
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berzina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka itu (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan jangan lah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali
orang-orang yang bertaubat.” (Q.S An- nur 4-5)
b. Sifat
misalnya dalam surah An-nisa ayat 23
yang berbunyi.
“Dan
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri.” (Q.S An-nisa 23)
Kalimat yang
berbunyi adalah
sifat bagi istri-istri kamu. Berarti disini bahwa anak tiri itu haram dikawini
bila ibunya itu sudah dicampuri. Tapi kalau belum dicampuri maka disini anak
itu halal dinikahi.
c. Syarat
misalnya seperti firman Tuhan yang
berbunyi.
“diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf. Inilah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Jika peninggalan
harta perkataan itu berarti harta benda.
Syarat dalam
wasiat, dan perkataan yang berbunyi.
“Dan
budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka, jika kamu ketahui ada baiknya pada mereka itu.”
(Q.S An-nur 33)
Artinya disini
ialah sanggup membayarkannya atau amanah dan usaha.
d. Ghayah
misalnya seperti firman Tuhan yang
berbunyi.
“Dan
janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai ditempat
penyembelihannya.” (Q.S Al-Baqarah 196)
e. Badal
ba’du min kulli. Seperti firman Tuhan
yang berbunyi.
“Mengerjakan
haji itu adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(Q.S Al-Imran 97)
Perkataan ( ) itu adalah
badal dari manusia. Wajib haji itu adalah khusus bagi orang-orang yang sanggup.
Mukhassis
munfasil adalah mukhassis yang terdapat ditempat lain, baik ayat, hadis, ijma’,
ataupun qiyas.
a. Yang ditakhsis oleh Al-Qur’an
Ayat ini adalah amm,
mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah
digauli maupun belum. Tetapi keumumuman ini ditakhsis oleh ayat:
Dan firmannya:
b. Yang ditakhsis oleh Hadis
Ayat ini ditakhsis oleh
jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain
disebutkan dalam kitab sahih Bukhari dari Ibn Umar ia berkata: “Rasulullah
melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.”
Dalam Sahihain
diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah melarang jual beli kandungan
binatang yang mengandung, jual beli yang biasa dilakukan orang jahiliyah.
Biasanya seseorang membeli seekor unta sampai unta melahirkan, kemudian anaknya
itu beranak pula. (Redaksi hadis ini adalah redaksi bukhari). Dan hadis-hadis lainnya.
Dan dari jenis riba
(yang secara umum diharamkan dalam ayat di atas) didispensasikanlah jual beli
‘ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih dipohon dengan kurma kering. Jual
beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.
“Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah memberi keringanan untuk jual ‘ariyah dengan ukuran yang sama jika
kurang dari lima wasaq.” (Muttafaq ‘alaih).
c. Yang ditakhsis oleh ‘ijma
Berdasarkan
ijma’ budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor
penghalang hak waris.
d. Yang ditakhsis oleh qiyas
Budak laki-laki
ditakhsis (dikeluarkan dari ketentuan umum ayat ini) karena diqiyaskan kepada
budak permepuan yang pentakhsisannya ditegaskan dalam ayat:
2. Mentakhsiskan
sunah dengan Al-qur’an.
Terkadang ayat
Al-Qur’an mentakhsis, membatasi, keumuman sunnah. Para ulama mengemukakan
contoh dengan hadis riwayat Abu Waqid al-Laisi. Ia menjelaskan, Nabi berkata:
“Bagian
apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai.”
Hadis
ini ditakhsis oleh ayat:
“Dan
(dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat
rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).”
Q.S An-nahl 80[6]
3. Sah Berhujjah dengan Amm’ Setelah Takhsis nya
itu Tetap
Berbeda-beda pendapat ulama
tentang sahnya mengemukakan hujjah dengan ‘amm, setelah takhsisnya itu tetap.
Para peneliti menetapkan bahwa sah mengemukakan hujjah dengannya tentang apa
yang berada dibalik takhsis. Pendapat mereka itu berdasarkan baik yang
berkaitan dengan ijma’ maupun secara ratio (akal).
Pertama , dari keterangan ijma’, Fatimah pernah mengemukakan hujjah
kepada Abu Bakar menegenai warisan dari ayahnya berdasarkan keumuman ayat:
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang pembagian warisan untuk anak-anakmu. Yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
(Q.S An-nisa 11)
Di
samping itu ada yang ditakhsiskan yaitu orang kafir dan orang yang membunuh.
Tidak seorang juga sahabat yang mengingkari hujjah yang dikemukakan oleh
Fatimah tersebut. Disamping itu juga menurut kenyataan dan yang terkenal
dikalangan sahabat-sahabat Nabi SAW selama ini. Menurut ijma’, hujjah Fatimah
itu adalah sah dalam hal ini Abu Bakar menyimpangkan alasan yang dikemukakan
oleh Fatimah itu kepada hujjah lain, berdasarkan sabda nabi yang berbunyi, kami
seluruh Nabi-nabi tidak meninggalkan warisan yang kami tinggalkan hanyalah
sedekah.
Kedua, berdasarkan
akal. Amm’ itu sebelum ditakhsiskan boleh dijadikan hujjah bagi setiap orang,
berdasarkan ijma’. Asalnya adalah tetap, baik sebelum maupun sesudah
ditakhsiskan. Kecuali bila terdapat hal-hal yang bertentangan disini tidak ada
yang bertentang-tentangan apa yang berada dibalik takhsis itu Amm’ sesudah
ditakhsiskan itu tetap merupakan hujjah.
4. Yang Tercakup
Dalam Dalil yang Khusus
Para ulama berbeda pendapat
tentang khithab (seruan) yang
ditujukan secara khusus kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seperti:
“Hai Nabi, bertakwalah kepada
Allah dan janganlah kamu menuruti keinginan orang-orang kafir dan orang-orang
munafik”. (Q.S Al-ahzab 1)
“Hai Rasulullah, janganlah
hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegara (memperlihatkan)
kekafirannya.” (Q.S Al-Maidah 41)
Apakah Khithab ini mencakup seluruh umat atau tidak?
a. Segolongan ulama berpendapat, ini
mencakup seluruh umat karena Rasulullah adalah qudwah (panutan) bagi mereka.
b. Golongan lain berpendapat, bahwa ini
tidak mencakup mereka, karena lafaz-nya menunjukkan kekhususannya bagi
Rasulullah saja.
Di samping itu, mereka juga berbeda
pendapat mengenai Khithab Allah yang
menggunakan lafaz “Ya ayyuhan nass,”
seperti:
“Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari satu
jiwa.” (Q.S An-nisa 1);
Apakah ia mencakup Rasulullah atau
tidak? Menurut pendapat yang shahih, khithab
tersebut mencakup Rasulullah juga, sebab mengandung makna yang umum,
meskipun khithab tersebut datang
melalui lisannya untuk disampaikan kepada orang lain (umat).
Sementara itu ulama yang lain
merincikan, katanya; jika disertai kata “qul” (Katakanlah) maka ia tidak
mencakup Rasul, karena secara Zhahir Khithab
tersebut untuk disampaikan (kepada umatnya). Misalnya:
“Katakanlah (wahai Muhammad):
‘Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
semua.” (Q.S Al-a’raf 158).
Dan jika tidak disertai dengan
“qul”, maka ia juga mencakup Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam.
[1] Syaikh
Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm 272
[2] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu
Al-Qur’an 2, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1995), hlm 11
[3] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,
(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm 276
[4] Manna’
khalil al-Qathan, Studi ilmu-ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta, PT. Pustaka Litera Antarnusa,2009) , hlm 318
[5] Mana’ul Quthan , Pembahasan
Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1995), hlm 20
[6] Manna’ khalil al-Qathan,
Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta,
PT. Pustaka Litera Antarnusa,2009) , hlm 321
0 komentar:
Posting Komentar